19 Agustus 2016

Mengapa Perlu Basa-Basi?

Hallo readers, apa kabar? Diantih udah jarang ngeblog ya hehe. Terakhir ngeblog ya sekitar 1 bulan yang lalu. Kenapa kok jarang ngeblog ya? Alasannya banyak. Yang pertama, saya sibuk bolak-balik ke sekolah buat ngurus ijazah dan semacamnya. Kedua, saya sibuk menghabiskan waktu bersama teman-teman saya, karena mereka sudah mau pindah keluar kota buat jadi anak rantau. Ini momen paling sedih sih hahaha. Ketiga, saya sibuk prepare buat ospek selama 1 minggu. Dan akhirnyaaa, saya berusaha untuk menulis kembali. Legaaaa. Duh kok saya malah jadi basa-basi gini ya? Mungkin dari kalian ada yang tidak suka saya basa-basi, ya? Padahal, basa-basi itu tidak seperti apa yang kalian pikirkan loh. Basa-basi ya? Saya suka basa-basi loh. (Ya terus kenapa? Apa hubungannya dengan saya?) ini permasalahannya!


Banyak orang mengatakan bahwa salah satu factor Indonesia lamban dan tidak segera menjadi negara maju diakibatkan adanya budaya “basa-basi” yang kental dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Banyak orang yang membandingkan budaya basa-basi ini dengan budaya barat yang katanya lansung “to the point”, tidak banyak basa-basi, dan tidak banyak bunga-bunga kata. Sesungguhnya ini persepsi yang keliru (menurut saya), karena didalam budaya bangsa mana pun “basa-basi” ini sangat diperlukan sebagai perekat sosial masyarakat. Hanya bentuk dan cara pengungkapannya tentu berlainan, yang lantas memberikan kesan seakan-akan ada bangsa tidak mengenal basa-basi ini. Maka kali ini, saya akan mencoba membahas beberapa situasi basa-basi yang ada di masyarakat Indonesia berdasarkan kehidupan yang saya alami *eseh 

Pernahkah kalian bertemu orang di jalan, lalu menyapa dengan “mau kemana?” atau “Dari mana?”. Ataukah pernahkah kalian melakukan “chatting” dengan menggunakan kata pembuka, seperti “Assalamualaikum” atau “apa kabar?”. Bagi sebagian orang hal itu mungkin tidak penting dan hanya sekedar angin lalu, tetapi bagi saya itu adalah sebuah bentuk keakraban dan keramah-ramahan.


 Pernahkah kalian mencoba makanan, sedangkan rasanya ‘mohon maaf’, tidak enak dan sangat hambar, lalu disisi lain sang pembuat masakan bertanya bagaimana rasanya. Lalu kalian menjawab “enak kok, cuma kurang garam aja sedikit” atau “lumayan enak kok, kalau belajar lagi pasti lebih enak”. Bagi orang yang mempunya pandangan berbeda dengan saya, jawaban seperti itu termasuk berbohong dan munafik. Namun menurut saya, itu adalah suatu bentuk penghargaan sata usaha yang telah dilakukan oleh sang pembuat masakan dan juga menjaga perasaan  orang tersebut.



Pernahkah kalian ditawarkan makanan/sesuatu, lalu menjawab “makasih ya, harusnya gak usah repot-repot” atau “makasih, tapi saya sudah kenyang”. Bagi sebagian orang ini termasuk perilaku tidak jujur, dan ya memang benar sih. Tetapi bagi saya, ini salah satu bentuk ewuh (sungkan/malu/gengsi) yang selalu dijunjung masyarakat Indonesia, khususnya Jawa seperti saya. 

Pernahkah kalian sadang makan, lalu ada orang yang anda kenal berjalan didepan kalian, dan kalian mengatakan “mari makan dulu, Mas” atau “mampir Mas, makan dulu ya”. Menurut orang yang berpikiran rasional, pernytaaan seperti itu adlaah basa-basi belaka. Kenapa? Karena ‘yang diajak’ pasti menjawab “makasih, tidak usah, Mas” dan ‘sang pengajak’ sudah pasti tahu tawarannya akan ditolak, kan? Bagi saya, pernyataan tersebut adalah bentuk bahwa kita peduli terhadap sekitar, punya rasa sosial yang tinggi dan memiliki sifat ramah tamah kepada sesama. 

Pernahkah kalian merasa disakiti baik secara verbal maupun fisik, hak-hak kalian diambil,dan sebagainya. Lalu kalian hanya tersenyum, menerima apa adanya dan kalaupun  membalas hanya untuk membela diri secukupnya saja? Bagi sebagian orang, itu merupakan tindakan bodoh dan pelecehan terhadap akal, pikiran perasaan sebagai manusia. Namun bagi saya, keselarasan, keserasian, dan keharmonisan adalah yang paling utama. Jadi, apapun yang terjadi konflik harus diredam, walaupun harus mengorbankan diri dengan sakit hati yang dipendam.

Dan masih banyak lagi contoh budaya basa-basi, dan ewuh pakewuh yang ada di kehidupan kita sehari-hari. Dari beberapa contoh diatas, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa ada beberapa keutungan dari budaya yang dianggap ‘tidak penting’ ini, sebagai berikut:
1.     Tidak menyinggung hati
Orang-orang Indonesia sangat berhati-hati dalam berbicara dan sering berbasa-basi terlebih dahulu sebelum menyampaikan pendapatnya, terutama apabila berisi kritikan. Dengan basa-basi diharapkan tidak ada sakit hati dalam percakapan. Dengan basa-basi saja sering ada yang sakit hati, apalagi tanpa basa-basi? Langsung dihajar bisa-bisa. Hahaha
2.     Memikat hati
Memang, mungkin basa-basi terkesan ‘menjilat’ karena sok sopan. Tapi itulah yang terjadi di budaya Indonesia. Sebelum menyampaikan apa ‘maunya’, berbasa-basilah terlebih dahulu sehingga menciptakan image kita yang ramah dan baik. Dengan basa-basi, obrolan pasti akan mengalir dan besar kemungkinan lawan bicara sudah tertarik atau bahkan ‘jatuh hati’. Tentu saja apa yang menjadi tujuan kita nanti akan lebih mudah tercapai.


3.     Mencairkan suasana
Biasanya orang Indonesia menawarkan camilan kpada tamunya sekedar untuk mencairkan suasana dan agar obrolan bisa lebih ‘ngeh’ (paham?) hahaha. Tuan rumah pasti akan berkata “maaf ya, cuma ada ini. Seadanya saja, monggo dimakan” sementara tamunya pasti akan menjawab “tidak usah repot-repot”
4.     Membina hubungan baik
Dalam berkomunikasi dan menjalin relasi, diperlukan sadikit basa-basi di awal pertemuan mereka. Ketika dianggap sudah akrab dan waktunya sudah tepat, bolehlah mengutarakan maksud yang sebenarnya. Setelah itu, selalu bertanya kabar dan keadaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk terus menjaga hubungan baik antarsesama.

Basa-basi sudah basi? Sebaiknya pikir ulang. So, masih mau bilang budaya basa-basi itu tidak penting dan termasuk budaya negatif? Ya, mungkin sebagian orang yang berpikir menggunakan logika akan menganggap ini merupakan hal remeh. Tapi tidak dengan saya, yang selalu mempertimbangkan empati dan perasaan dalam berbicara! Tapi dengan perbedaan opini ini, semuanya berpulang kembali pada diri masing-masinng, karena kebenaran yang hakiki bukan dari saya maupnun kalian, tapi dari Tuhan Yang Maha Esa

-DH-