Halo readers. Dianti tetap disini, ngeblognya rutin banget,
kebetulan kerjaan cuma nganggur doang. Maklum, baru lulus SMA sih ya. Dan
beruntungnya, aku udah dapet PTN/perkuliahan. Alhamdulillah. Kenapa cepet
banget? Ya karena aku lolos di tahap SNMPTN. Aku diterima di Fakultas Hukum
Universitas Jember, kotaku sendiri. Aslinya pengen banget sih kuliah di
Universitas Airlangga, Surabaya. Karena ada fakultas yang sesuai minat dan
passion aku dari dulu. Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Komunikasi. Tapi apa
daya, orang tuaku gak ngebolehin aku kuliah diluar kota. Sedih. Tapi aku
mencoba berpikir lebih bijak lagi, semakin tua umurku, semakin bertambah tua
pula umur orangtuaku, lalu siapa yang
menjaga mereka kalo bukan anaknya sendiri? Sedangkan mereka sudah mulai menua.
Paham kan? Yaudah, aku urungi niatku yang ingin merantau ke kota orang.
Lagipula, diterima lewat jalur undangan/SNMPTN aja udah bersyukur banget,
alhamdulillah. Kekuatan doa.
Langsung ke topik. Buat kalian yang membaca ini, kalian inget gak sih cita-cita
kalian sewaktu kecil apa? Coba bayangkan, pasti cita-cita kalian konyol banget.
Astronot? Maklum, ukuran otak anak SD
sih ya wkwk. Terus, sewaktu kalian remaja, kalian punya cita-cita yang baru.
Cita-cita kita selalu berganti dan selalu tidak tentu. Aku juga kok. Dulu waktu
TK, aku lebih suka bilang "aku pengen jadi penyanyi sama seniman (pelukis
maksudnya). SD, aku sangat enteng menjawab cita-citaku "aku ingin jadi
arsitek. Biar bisa bangun gedung banyak buat opera (pertunjukan seni)".
SMP aku mulai memiliki banyak impian yg aku semogakan, "aku ingin jadi
psikolog, musisi, desainer, penulis, motivator. Aku ingin itu semua. Aku cinta
pada profesi itu". SMA? See? Aku tetap berpegang teguh pada cita-citaku
sewaktu SMP, karena itu memang hobiku. Tapi semakin
jauh semakin asing. Apa yg aku inginkan memang tidak berjalan seperti
kenyataannya. Sekarang coba bayangkan, ketika kamu sudah bermimpi terlalu
tinggi, lalu ada hal yg menghambat mimpimu sendiri. Semua buyar entah kemana.
Dan otomatis kamu akan berpikir kembali akan cita-cita (baru) mu itu. Kamu terpaksa
berpikir kembali, padahal kamu waktu itu sudah memiliki harapan besar pada
cita-cita lamamu. Konflik batin kan? Faktanya, aku jujur pingin banget jadi
psikolog, tapi apadaya aku tidak bisa menggapainya. Menjadi mahasiswa psikolog
saja tidak mampu. Sekarang aku menjadi mahasiswa hukum. (tapi sekali lagi, aku
tetap bersyukur kok. Thanks God) See? Aku yakin banyak banget dari kalian yang
kayak aku. Contoh kasus lain seperti kuliahnya apa, kerjanya apa. Sebagai contoh, lulusan Sarjana Ekonomi,
kerjanya di Dinas Pendidikan. Lulusan pertanian, kerjanya sebagai guru. Inilah
potret pendidikan di Indonesia.
Belajar di SMA Indonesia,
setahun libur cuma 7 minggu gak lebih. Masuk maksimal jam 07.00. Bahkan ada
sekolah di kota lainnya yang bel masuknya jam 06.30 keluar jam 15.00. Mata pelajaran
kurang lebih ada 16. Ujian terus menerus, ditambah PR, tugas kelompok, bahkan
tugas individu yang seringkali bikin kita rasanya mau mati. Nah, pas lulus,
sujud syukur banget kalo bisa tembus PTN. Gak kebayang masuk universitas
favorit dunia seperti Harvard, Oxfort, Cambridge, Free Barlin, atau University
of Tokyo. Jangankan itu, masuk NUS Singapore, Nanyang, atau University Malaysia
aja pasti putus asa duluan deh. Itupun ngedapetin PTN di Indonesia aja susahnya
minta ampun, mesti les sana sini dengan biaya jutaan, belajar mati-matian pergi
pagi pulang malam kayak Bang Toyib (mending Bang Toyib pulang-pulang bawa
duit). Sabtu pun belajar, minggu ngerjain PR. Sampai gak sadar mereka itu
manusia atau robot.
Sewaktu kerja, interview
sana-sini gak dapet-dapet pekerjaan bahkan untuk beberapa lulusan UI, ITB, UGM,
dan PTN lainnya. Sedangkan kalau orang
bule yang ngelamar langsung direkrut gitu aja. Mereka dengan mudahnya nempatin
posisi teratas, seperi CEO, EO, Kadiv, dan lain-lain. Sementara kita, jadi
manager atau supervisor saja udah syukur-syukur deh. Walau ada beberapa yang
bakalan jadi petinggi juga.
Kalian pasti sadar kan, yang
punya perusahaan-perusahaan multinasional itu bukan orang Indonesia. Orang
Indonesia paling Cuma jadi Direktur Regional. Gak jarang juga yang menduduki
jabatan itu malah orang asing. Atau lebih untung lagi yang mendirikan
perusahaannya, tapi yang seperti ini paling juga sukses di Indonesia aja.
Pasti pada bingung, kenapa WNA
bisa sesukses itu? Kok bisa jadi adidaya di negara orang? Padahal anak-anak
Indonesia sering bolak-balik bawa medali olimpiade sains internasional,
olimpiade ekonomi se-ASEAN. Padahal? Nih, sekarang aku jabarkan sistem
pendidikan di Amerika. Dan ternyata….
·
SMA di
Amerika, banyak liburnya. Setahun kurang lebih 5 bulan
·
SMA di
Amerika, masuk jam 08.30 dan pulang 15.30
·
SMA di
Amerika, mata pelajarannya hanya ada 7
·
SMA di
Amerika, ujian akhir setahun cuma sekali. Dan gak pernah ada ulangan tengah
semester.
Lalu pertanyaannya, kok bisa sih
mereka semua jadi pemimpin-pemimpin dunia? Padahal di Indonesia, belajar sudah
paling lama, mata pelajaran sudah paling lengkap, PR dan tugas sudah paling
ribet, ujian sudah paling sering, les pun sudah paling rajin.
Jawabannya ada pada sistem
pendidikan dan diri kita sendiri.
Dulu, waktu TK dan SD kita semua
lancar menjawab saat ditanya apa cita-cita kita. Tapi sekarang? Pasti kita
banyak menjumpai remaja-remaja yang justru bingung akan cita-cita mereka bahkan
tidak jarang bagi mereka yang pintar juga bingung pada cita-cita mereka. Lalu
apa sebabnya? Bisa jadi karena sistem pendidikan kita yang salah. Sistem
pendidikan kita menuntut kita untuk mempelajari semuanya namun kita tidak
mendalami satu pun. Inilah yang membuat mereka yang mengejar nilai juga bingung
akan cita-citanya, karena sudah dibentuk sejak awal tidak mempunyai tujuan,
sudah dibentuk tidak mendalami apa yang mereka cita-citakan.
Apa yang mereka dapatkan dari
sekolah yaitu sukses hanya dengan sebuah kertas ujian and just reading your
book to be success. Padahal kalau sudah kerja, biar sukses harus melakukan
hal-hal kompleks seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan membentuk ide, dan
lain-lain.
Apa yang mereka dapatkan dari
sekolah adalah materi yang akan mereka lupakan karena tidak terpakai saat
mereka bekerja. Apakah seorang atlet sepakbola yang sukses perlu mempelajari
struktur sel bakteri untuk menjadi sukses? Apakah seorang dokter ahli bedah
yang sukses perlu belajar menghitung percepatan sentripetal agar menjadi sukses?
Justru sebaliknya, mereka yang ingin sukses sebagai arsitek seharusnya lebih
mendalami ilmu fisika, geometri dan bangunan, bukannya malah mendalami sebab
Revolusi Perancis, dan lain-lain. Lain lagi, calon pakar politik kok malah
dikasih pensil, rautan, penggaris, atau istilahnya kita mau ngapain kok gak
dapet apa yang kita butuhkan, malah dapet hal gak sebenarnya tidak dibutuhi. Ya
pasti dibuang. Ibaratnya itu seperti ini. Banyak yang
melihat apel jatuh hanya sebagai apel jatuh, tapi hanya Newton yang melihat
gravitasi disana. Banyak yang mengira petir hanya petir, tapi B. Franklin
melihat listrik disana. Sebagian besar hanya menyangka air hanya minuman, tapi
ia yang cerdas berhasil mengubahnya menjadi bahan bakar. Memang diperlukan
keberanian dan kecerdasan lebih untuk sampai di titik ini. Namun sayangnya
sistem pendidikan kita tidak mengasah otak anak untuk mampu berpikir seperti
ini, karena sistem pendidikan kita adalah sistem yang membuat anak
sebanyak-banyaknya menghapal pelajaran untuk kelak di muntahkan pada saat tes
dan ujian akhir. Dan tragisnya setelah itu semuanya dilupakan begitu saja. Kebanyakan
guru pasti akan marah jika melihat anak-anak hanya bermain dibawah pohon apel
atau rambutan, katanya ia tidak belajar. Padahal justru itulah arti belajar
yang sesungguhnya menemukan sisi lain yang tidak berhasil di lihat oleh
anak-anak kebanyakan.
Sesuai artikel yang aku baca, yang
membedakan SMA di Amerika dan di Indonesia yaitu sejak SMP, siswa-siswi di
Amerika disuruh menentukan keputusannya sendiri. Dengan sistem moving class,
istilahnya kita boleh masuk memilih kelas Kimia atau Biologi pada jam ini, atau
ingin masuk kelas Geografi atau Matematika pada jam selanjutnya. Jadi
disesuaikan dengan minat dan bakat kita mau itu kita hanya masuk ke kelas
Sejarah 1x pertemuan seminggu 3x atau lebih itu tergantung keputusan kita. Jadi
apabila ingin jadi dokter yang sukses kita bisa ambil kelas Biologi lebih
sering dari kelas mata pelajaran yang lainnya. Sehingga, sejak SMP orang
Amerika sudah terfokus pada bidang yang mereka inignkan untuk kerja di
dalamnya. Dan saat kerja mereka sudah punya persiapan sejak kecil. Hebatnya
lagi, orang tua mereka tentu saja sangat mendukung akan minat anaknya.
So, ayo kita benahi sistem
pendidikan kita dan mulailah fokus terhadap apa yang dicita-citakan mulai
sekarang kalau kita semua mau Indonesia merdeka secara ekonomi!
Sumber : IDNTimes
-DH-