11 Juni 2016

Potret Sistem Pendidikan Indonesia

Halo readers. Dianti tetap disini, ngeblognya rutin banget, kebetulan kerjaan cuma nganggur doang. Maklum, baru lulus SMA sih ya. Dan beruntungnya, aku udah dapet PTN/perkuliahan. Alhamdulillah. Kenapa cepet banget? Ya karena aku lolos di tahap SNMPTN. Aku diterima di Fakultas Hukum Universitas Jember, kotaku sendiri. Aslinya pengen banget sih kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya. Karena ada fakultas yang sesuai minat dan passion aku dari dulu. Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Komunikasi. Tapi apa daya, orang tuaku gak ngebolehin aku kuliah diluar kota. Sedih. Tapi aku mencoba berpikir lebih bijak lagi, semakin tua umurku, semakin bertambah tua pula umur orangtuaku,  lalu siapa yang menjaga mereka kalo bukan anaknya sendiri? Sedangkan mereka sudah mulai menua. Paham kan? Yaudah, aku urungi niatku yang ingin merantau ke kota orang. Lagipula, diterima lewat jalur undangan/SNMPTN aja udah bersyukur banget, alhamdulillah. Kekuatan doa.

Langsung ke topik. Buat kalian yang membaca ini, kalian inget gak sih cita-cita kalian sewaktu kecil apa? Coba bayangkan, pasti cita-cita kalian konyol banget. Astronot?  Maklum, ukuran otak anak SD sih ya wkwk. Terus, sewaktu kalian remaja, kalian punya cita-cita yang baru. Cita-cita kita selalu berganti dan selalu tidak tentu. Aku juga kok. Dulu waktu TK, aku lebih suka bilang "aku pengen jadi penyanyi sama seniman (pelukis maksudnya). SD, aku sangat enteng menjawab cita-citaku "aku ingin jadi arsitek. Biar bisa bangun gedung banyak buat opera (pertunjukan seni)". SMP aku mulai memiliki banyak impian yg aku semogakan, "aku ingin jadi psikolog, musisi, desainer, penulis, motivator. Aku ingin itu semua. Aku cinta pada profesi itu". SMA? See? Aku tetap berpegang teguh pada cita-citaku sewaktu SMP, karena itu memang hobiku. Tapi semakin jauh semakin asing. Apa yg aku inginkan memang tidak berjalan seperti kenyataannya. Sekarang coba bayangkan, ketika kamu sudah bermimpi terlalu tinggi, lalu ada hal yg menghambat mimpimu sendiri. Semua buyar entah kemana. Dan otomatis kamu akan berpikir kembali akan cita-cita (baru) mu itu. Kamu terpaksa berpikir kembali, padahal kamu waktu itu sudah memiliki harapan besar pada cita-cita lamamu. Konflik batin kan? Faktanya, aku jujur pingin banget jadi psikolog, tapi apadaya aku tidak bisa menggapainya. Menjadi mahasiswa psikolog saja tidak mampu. Sekarang aku menjadi mahasiswa hukum. (tapi sekali lagi, aku tetap bersyukur kok. Thanks God) See? Aku yakin banyak banget dari kalian yang kayak aku. Contoh kasus lain seperti kuliahnya apa, kerjanya apa.  Sebagai contoh, lulusan Sarjana Ekonomi, kerjanya di Dinas Pendidikan. Lulusan pertanian, kerjanya sebagai guru. Inilah potret pendidikan di Indonesia. 


Belajar di SMA Indonesia, setahun libur cuma 7 minggu gak lebih. Masuk maksimal jam 07.00. Bahkan ada sekolah di kota lainnya yang bel masuknya jam 06.30 keluar jam 15.00. Mata pelajaran kurang lebih ada 16. Ujian terus menerus, ditambah PR, tugas kelompok, bahkan tugas individu yang seringkali bikin kita rasanya mau mati. Nah, pas lulus, sujud syukur banget kalo bisa tembus PTN. Gak kebayang masuk universitas favorit dunia seperti Harvard, Oxfort, Cambridge, Free Barlin, atau University of Tokyo. Jangankan itu, masuk NUS Singapore, Nanyang, atau University Malaysia aja pasti putus asa duluan deh. Itupun ngedapetin PTN di Indonesia aja susahnya minta ampun, mesti les sana sini dengan biaya jutaan, belajar mati-matian pergi pagi pulang malam kayak Bang Toyib (mending Bang Toyib pulang-pulang bawa duit). Sabtu pun belajar, minggu ngerjain PR. Sampai gak sadar mereka itu manusia atau robot.  


Sewaktu kerja, interview sana-sini gak dapet-dapet pekerjaan bahkan untuk beberapa lulusan UI, ITB, UGM, dan PTN lainnya. Sedangkan kalau orang bule yang ngelamar langsung direkrut gitu aja. Mereka dengan mudahnya nempatin posisi teratas, seperi CEO, EO, Kadiv, dan lain-lain. Sementara kita, jadi manager atau supervisor saja udah syukur-syukur deh. Walau ada beberapa yang bakalan jadi petinggi juga.
Kalian pasti sadar kan, yang punya perusahaan-perusahaan multinasional itu bukan orang Indonesia. Orang Indonesia paling Cuma jadi Direktur Regional. Gak jarang juga yang menduduki jabatan itu malah orang asing. Atau lebih untung lagi yang mendirikan perusahaannya, tapi yang seperti ini paling juga sukses di Indonesia aja.
Pasti pada bingung, kenapa WNA bisa sesukses itu? Kok bisa jadi adidaya di negara orang? Padahal anak-anak Indonesia sering bolak-balik bawa medali olimpiade sains internasional, olimpiade ekonomi se-ASEAN. Padahal? Nih, sekarang aku jabarkan sistem pendidikan di Amerika. Dan ternyata….
·         SMA di Amerika, banyak liburnya. Setahun kurang lebih 5 bulan
·         SMA di Amerika, masuk jam 08.30 dan pulang 15.30
·         SMA di Amerika, mata pelajarannya hanya ada 7
·         SMA di Amerika, ujian akhir setahun cuma sekali. Dan gak pernah ada ulangan tengah semester.
Lalu pertanyaannya, kok bisa sih mereka semua jadi pemimpin-pemimpin dunia? Padahal di Indonesia, belajar sudah paling lama, mata pelajaran sudah paling lengkap, PR dan tugas sudah paling ribet, ujian sudah paling sering, les pun sudah paling rajin.
Jawabannya ada pada sistem pendidikan dan diri kita sendiri.


Dulu, waktu TK dan SD kita semua lancar menjawab saat ditanya apa cita-cita kita. Tapi sekarang? Pasti kita banyak menjumpai remaja-remaja yang justru bingung akan cita-cita mereka bahkan tidak jarang bagi mereka yang pintar juga bingung pada cita-cita mereka. Lalu apa sebabnya? Bisa jadi karena sistem pendidikan kita yang salah. Sistem pendidikan kita menuntut kita untuk mempelajari semuanya namun kita tidak mendalami satu pun. Inilah yang membuat mereka yang mengejar nilai juga bingung akan cita-citanya, karena sudah dibentuk sejak awal tidak mempunyai tujuan, sudah dibentuk tidak mendalami apa yang mereka cita-citakan. 


Apa yang mereka dapatkan dari sekolah yaitu sukses hanya dengan sebuah kertas ujian and just reading your book to be success. Padahal kalau sudah kerja, biar sukses harus melakukan hal-hal kompleks seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan membentuk ide, dan lain-lain.
Apa yang mereka dapatkan dari sekolah adalah materi yang akan mereka lupakan karena tidak terpakai saat mereka bekerja. Apakah seorang atlet sepakbola yang sukses perlu mempelajari struktur sel bakteri untuk menjadi sukses? Apakah seorang dokter ahli bedah yang sukses perlu belajar menghitung percepatan sentripetal agar menjadi sukses? Justru sebaliknya, mereka yang ingin sukses sebagai arsitek seharusnya lebih mendalami ilmu fisika, geometri dan bangunan, bukannya malah mendalami sebab Revolusi Perancis, dan lain-lain. Lain lagi, calon pakar politik kok malah dikasih pensil, rautan, penggaris, atau istilahnya kita mau ngapain kok gak dapet apa yang kita butuhkan, malah dapet hal gak sebenarnya tidak dibutuhi. Ya pasti dibuang. Ibaratnya itu seperti ini. Banyak yang melihat apel jatuh hanya sebagai apel jatuh, tapi hanya Newton yang melihat gravitasi disana. Banyak yang mengira petir hanya petir, tapi B. Franklin melihat listrik disana. Sebagian besar hanya menyangka air hanya minuman, tapi ia yang cerdas berhasil mengubahnya menjadi bahan bakar. Memang diperlukan keberanian dan kecerdasan lebih untuk sampai di titik ini. Namun sayangnya sistem pendidikan kita tidak mengasah otak anak untuk mampu berpikir seperti ini, karena sistem pendidikan kita adalah sistem yang membuat anak sebanyak-banyaknya menghapal pelajaran untuk kelak di muntahkan pada saat tes dan ujian akhir. Dan tragisnya setelah itu semuanya dilupakan begitu saja. Kebanyakan guru pasti akan marah jika melihat anak-anak hanya bermain dibawah pohon apel atau rambutan, katanya ia tidak belajar. Padahal justru itulah arti belajar yang sesungguhnya menemukan sisi lain yang tidak berhasil di lihat oleh anak-anak kebanyakan.

Sesuai artikel yang aku baca, yang membedakan SMA di Amerika dan di Indonesia yaitu sejak SMP, siswa-siswi di Amerika disuruh menentukan keputusannya sendiri. Dengan sistem moving class, istilahnya kita boleh masuk memilih kelas Kimia atau Biologi pada jam ini, atau ingin masuk kelas Geografi atau Matematika pada jam selanjutnya. Jadi disesuaikan dengan minat dan bakat kita mau itu kita hanya masuk ke kelas Sejarah 1x pertemuan seminggu 3x atau lebih itu tergantung keputusan kita. Jadi apabila ingin jadi dokter yang sukses kita bisa ambil kelas Biologi lebih sering dari kelas mata pelajaran yang lainnya. Sehingga, sejak SMP orang Amerika sudah terfokus pada bidang yang mereka inignkan untuk kerja di dalamnya. Dan saat kerja mereka sudah punya persiapan sejak kecil. Hebatnya lagi, orang tua mereka tentu saja sangat mendukung akan minat anaknya. 

So, ayo kita benahi sistem pendidikan kita dan mulailah fokus terhadap apa yang dicita-citakan mulai sekarang kalau kita semua mau Indonesia merdeka secara ekonomi!

Sumber : IDNTimes

-DH-

01 Juni 2016

Kamu Adalah Apa yang Kamu Lakukan


"Karena ketika kamu menari, kamu sudah menjadi seorang penari"
 -Indi, skolioser dan penulis buku best seller Waktu Aku Sama Mika dan Karena Cinta itu Sempurna-

Kata-kata itulah yang sering aku ingat-ingat dari salah satu dari sekian banyak skolioser yang menjadi inspiratorku. Indi bilang bahwa, lakukan apa yang kamu ingin lakukan. Jika kamu ingin menjadi penari, menarilah. Jika ingin menjadi penyanyi, menyanyilah. Jika ingin menjadi penulis, menulislah. Jika ingin menjadi pengajar, mengajarlah.


Dunia ini tidak sesempit itu. Dunia ini tidak hanya sekedar berisi penyanyi yang selalu dipuja semua kalangan dengan baladanya yang seirama. Tidak juga sekedar berisi penari dengan lenggok pinggulnya yang membuat mata terpaku mengikuti tempo. Dunia ini berisi kamu. Berisi apa yang dapat kamu lakukan untuk dunia. Saat remaja adalah saat yang paling tepat untuk menggali potensi diri. Kali ini, aku mau cerita, apa yang sudah pernah aku lakukan, dan profesi apa saja yang pernah aku jabati. Cielah wkwk.

Aku adalah seorang pelukis. Aku suka menggambar. Walau gambaranku tidak bagus. Walau hanya ibu yang mengatakan bahwa aku pintar menggambar. Aku sering ikut lomba menggambar saat SD. Dan syukurlah aku adalah juaranya, walaupun menjadi juara sangat jarang kudapati. Aku suka pensil warna. Crayon. Cat air. Semua aku suka. Warna adalah mataku. Kuas adalah tanganku. Dan kertas adalah imaginasiku. Aku adalah seorang pelukis.


Aku adalah seorang penari. Walaupun aku tidak gemulai, aku bisa mengikuti tempo dengan baik. Aku suka menari, walaupun pinggulku tidak selentur mereka dalam berlenggok, karena aku seorang skolioser. Tetapi menari itu menyenangkan. Aku juga pernah menari tarian apapun di depan kelas. Aku pernah menari di sebuah pentas seni. Aku adalah seorang penari.

Aku adalah seorang koki. Koki yang sangat amatir. Aku hanya memasak cukup beberapa makanan saja, itu pun yang aku bisa. Walau masakanku tidak enak, setidaknya aku sudah mencoba. Walaupun masakanku tidak sedap, setidaknya aku sudah berusaha. Karena mencoba lebih baik daripada mencela. Aku adalah seorang koki.


Aku adalah seorang penyanyi. Walaupun suaraku pas-pasan, aku suka bisa mengikuti melodi dari para penyanyi yang indah. Aku suka saat mereka yang aku sayang bisa tahu lewat lagu dan alunanku. Terlebih aku banyak berprestasi dalam bidang paduan suara. Dan aku sering mengikuti perlombaan menyanyi sewaktu aku masih kecil. Aku adalah seorang penyanyi.


Aku adalah seorang penulis. Walaupun aku tahu, aku bukan apa-apa dibandingkan dengan Dewi Lestari, Tere Liye, Raditya Dika, Lexi Xiu, tapi aku berbicara lewat huruf-huruf ini. Mulutku memang diam. Tapi hatiku bergerak lewat jemariku. Nyawaku ada di sana. Aku lebih suka hidup dengan kata-kata yang kucurahkan lewat sebuah tulisan. Suatu saat aku harap aku bisa punya buku sendiri. Aku adalah seorang penulis.


Aku adalah seorang musisi. Aku sadar, skillku dibidang music masih dibilang ‘sangat rendah’. Tapi bukan berarti aku berhenti berkarya. Walaupun untuk sekarang aku vakum bermusik karena aku lebih menyibukkan diri untuk menjadi penulis. Aku pernah menjadi gitaris, keyboardis, aku pernah belajar drum. Aku menyukai music karena jika hidupku tanpa music, itu bagaikan lautan tanpa air. Aku musisi yang selalu mencurahkan segenap pikiran dan hatinya demi menciptakan sebuah karya seni. Aku adalah seorang musisi.

Aku adalah seorang psikolog. Aku suka mempelajari tingkah laku dan mental orang lain. Aku suka mengamati gerak-gerik orang lain, tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Aku sering dikatakan pendengar yang baik oleh teman-teman. Maka tak heran jika banyak orang di sekitarku yang merasa tidak cukup didengarkan oleh orang-orang terdekatnya sehingga membutuhkanku untuk membantunya. Dan aku sangat senang hati membantunya, karena dengan begitu aku adalah apa yang orang lain butuhkan. Aku adalah seorang psikolog.




Aku adalah seorang motivator. Mario Teguh dan Merry Riana adalah inspiratorku. Walaupun aku tau aku tak sebijak Om Mario Teguh dan Tante Merry Riana, tapi aku selalu melakukan apa yang aku katakan. Aku melakukan seperti ‘quotes’ yang aku ucapkan. Aku yakin aku bisa memberi orang lain pencerahan, sehingga aku dapat menyadarkannya, memperbaiki kesalahannya, itulah yang dikatakan membantu. Aku adalah seorang motivator.


Aku adalah seorang desainer dan ilustrator. Aku mempunyai kemampuan berkomunikasi dalam kreasi visual yang dihasilkan dari olah imajinasiku sendiri. Grafis, interior, ilustrasi, editor apapun aku suka. Aku suka mendesain sesuatu. Sudah berbagai macam desain yang aku buat. Aku mendesain kamarku sendiri, aku mendesain bajuku sendiri, aku mengilustrasikan warna untuk mendekorasi rumahku sendiri. Aku adalah seorang desainer.


Aku adalah seorang penyair. Aku suka puisi. Aku suka sajak didalamnya, aku suka majas diantaranya, aku suka diksi disetiap barisnya. Aku suka mencurahkan perasaanku kedalam puisi, tapi aku tak suka jika ada seseorang yang terlalu addict dengan puisiku. Biarkan puisi yang kuciptakan, dinikmati oleh diriku sendiri. Karena apapun isi dari puisi-puisiku, itu adalah ceritaku. Aku menyairkan puisi untuk diriku sendiri. Aku adalah seorang penyair.


Aku adalah seorang guru. Aku sering mengajari teman-temanku yang tak paham dengan materi yang diajarkan oleh guru. Aku memberi ilmu, dan aku juga mendapat ilmu. Aku juga sering mengajar anak SD yang kebetulan ia adalah adik temanku. Meskipun aku tidak terlalu suka mengajar seseorang, tapi kalau kita masih bisa membantu, kenapa tidak? Ya. Aku adalah seorang guru.

Aku memang hanya sekedar remaja labil, baru menginjak usia dewasa yang masih dikatakan dalam proses bertumbuh. Tapi, aku tahu, kemampuanku bisa aku cari. Ia hanya menunggu ketika aku berani mengeluarkan kemampuanku sendiri. Jadi, teman, jangan pernah kamu berkecil hati sedikit pun dan mengatakan 'tidak bisa'. Kamu bisa. Kamu pasti bisa, karena kamu adalah apa yang kamu lakukan.

-DH-