Amir, begitu ia dipanggil. Ia terlahir dengan satu tangan dan bibir sumbing. Namun begitu, Amir adalah anak yang ceria. Di Sekolah dia hanya mempunyai dua teman. Satu laki-laki dan satu perempuan. Teman-teman yang lain, malu berteman dengannya. Sering mereka mencibir dan mengejeknya. Namun begitu, Amir tak pernah bersedih atas sikap teman-temanya.
Pun dikeluarganya, Amir tidak
memperoleh kasih sayang yang sebenarnya dari kedua orang tuanya. Ibunya seperti
tak mau menerima kehadirannya dan malu apabila mengajaknya pergi. Ayahnya sama,
ayahnya begitu keras dan temperamental. Tak jarang Amir dipukulinya apabila
melakukan kesalahan sedikit saja. Alih-alih membelanya, sang ibu hanya diam tak
membelanya bahkan ikut memarahinya. Hanya adiknya yang sayang terhadapnya.
Amir berasal dari keluarga
biasa-biasa saja. Ayahnya seorang sopir angkot, sedang ibunya berjualan ubi dan
singkong goreng dipasar. Suatu ketika ibunya tidak memasak, seharian Amir tak
makan, tapi keduanya tak peduli. Namun Amir tak menggubris hal itu, ia tetap
ceria dan tak banyak menuntut. Dia hanya makan ubi sisa jualan ibunya yang ada
dimeja. Karena begitu sayangnya sang adik kepada kakaknya, tak jarang ia
memberikan jatah makanan kepada sang kakak secara diam-diam. Sama halnya Amir
yang begitu sayang terhadap adiknya, sehingga rela berbuat apa saja demi
kebahagiaan sang adik.
Namun karena adiknya masih kecil,
tak jarang sifat kekanakannya muncul. Seperti pagi tadi setelah shalat subuh,
kotak musik dari sahabatnya yang diberikan untuk sang adik, tak sengaja Amir
menjatuhkannya sehingga hancur berkeping-keping. Adiknya menangis menjadi-jadi.
Ibunya pun memarahi Amir hahis-habisan. Kendati Amir meminta maaf berulang
kali, sang adik belum berhenti menangis. Sampai kemudian ia berjanji akan
membawa gantinya sepulang sekolah. “Benar ya kak, kakak harus membawa gantinya
nanti setelah pulang sekolah,” pintanya.” Iya kakak janji,” kata Amir
menyakinkan.
Di sekolah Amir gelisah
memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk membeli kotak musik sang adik.
Akhirnya Amir menemukan jalan keluar. Ia menjual jasa dengan cara membawakan
belanjaan ibu-ibu kaya yang berbelanja di supermarket sepulang sekolah. Walaupun
ia hanya mempunyai satu tangan, ia sudah biasa melakukan hal itu. Sang
ibu sering menyuruhnya membawa dagangan ke pasar dan tak jarang pula sang ayah
menyuruhnya membawa beban berat. Sampai menjelang maghrib, Amir berhenti dari
pekerjaannya. Dia menuju musalah terdekat untuk shalat. Selesai shalat, ia melanjutkan
lagi pekerjaan tadi.
Uang untuk membeli kotak musik
sudah terkumpul, namun ia tak mampu menyisakan untuk ongkos pulang.
Amirpun pulang dengan jalan berkaki. Meski sang ayah sopir angkot, Amir enggan
menumpang angkotnya. Ia justru takut sang ayah memarahinya jika melihatnya
berkeliaran di jalan selarut ini. Amir memutuskan untuk berjalan saja. Walaupun
jarak pusat perbelanjaan dengan rumah Amir begitu jauh, Amir tak mengeluh. Ia
ikhlas demi adiknya. Amir merasa bersalah karena telah menjatuhkan kotak musik
sang adik. Namun saking tak sabarnya ingin cepat sampai rumah, ia tak sadar jika
ada angkot yang melaju kencang kala ia akan menyeberang. Amir pun terpental,
kepalanya terbentur jalan dan banyak mengeluarkan darah.
Dengan mata berkunang-kunang,
Amir melihat kerumunan orang mengelilinginya. Ia juga melihat sosok yang tak
asing. Orang itu menangis sambil berteriak memanggil namanya. Ya, Amir sangat
mengenalnya. Dialah sopir angkot yang menabrak Amir, yang tak lain adalah ayah
kandungnya sendiri. ”Ayah, tolong berikan kotak musik itu pada adik,” katanya
lirih dengan napas tersenggal suara tersendat. Ayahnya hanya mengangguk. Namun sayang,
Amir tidak bisa melihat kalau kotak musik itu ikut hancur terlindas kendaraan
yang berlalu lalang dijalan itu. Sedetik kemudian setelah Amir menyampaikan
pesan kepada ayahnya, ia meninggal dunia.
Isak tangis terdengar setelah
pemakaman. Kini kedua orang tua Amir hanya bisa meratapi kepergiannya setelah
sekian lama menyia-nyiakan. Sesekali terdengar suara anak perempuan kecil yang
berkali-kali menanyakan kotak musik yang akan dibawakan sang kakak untuknya.
“Kak, kotak musiknya mana? Kakak kan sudah janji sama aku?”.
-Dianti Hafiana-
0 komentar:
Posting Komentar